Minggu, 07 Desember 2014

Tebar Perdamaian Melalui Pemanfaatan Media Sosial

| No comment
Siliwangi, JM

Selama dua kali pertemuan, JINGGA Media dilibatkan dalam penyajian materi mengenai pemanfaatan media sosial dan internet untuk perdamaian. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Fahmina dan Pelita Perdamaian ini dibagi ke dalam dua kelompok, pertama untuk kalangan tokoh agama yang diselenggarakan pada tanggal 2 – 4 Desember 2014, dan untuk komunitas pemuda diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 7 Desember 2014, di Bentani Hotel Cirebon.

 

Kepada sekurangnya 20 peserta pelatihan dari kalangan tokoh agama, Ahmad Rofahan, Direktur Program JINGGA Media menjelaskan mengenai pentingnya memanfaatkan jaringan internet dan media sosial guna menebarkan perdamaian dan toleransi. Ia mengatakan, pesan-pesan perdamaian tidak hanya bisa diandalkan melalui media-media arus utama, karena pada dasarnya, masing-masing media tentu memiliki latar belakang dan tujuan tersendiri.

 

“Kekuatan dan pengaruh media dalam isu-isu perdamaian memang sangat besar, namun itu harus dimulai oleh kita sendiri sebagai masyarakat publik, yang paling strategis adalah melalui fasilitas media sosial,” katanya, Senin (2/12).

 

Rofahan menambahkan, tidak jarang sebuah kebijakan publik pun terdorong oleh kekuatan media sosial yang digalang dalam prinsip kebersamaan. Gerakan dalam menebar pesan damai dan toleransi ini pun dirasa penting untuk dilancarkan melalui pemanfaatan media sosial.

 

“Kegiatan di media sosial adalah salah satu ruang kedaulatan kita dalam mengelola informasi, termasuk untuk menebarkan pesan perdamaian. Hanya saja, ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan, di antaranya adalah dengan tetap mematuhi peraturan yang berlaku melalui UU ITE, terutama pasal 27,28 dan 29,” jelasnya.

 

Sementara itu, Sobih Adnan, Direktur Riset JINGGA Media yang berkesempatan untuk mengawal diskusi di kalangan pemuda menjelaskan, dalam prinsipnya media sosial hanya bertumpu pada tiga hal, yakni berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi.

 

“Dari ketiga prinsip tersebut, bisa menciptakan bermacam-macam wajah masyarakat kita di media sosial, dan kebanyakan yang paling agresif adalah kelompok intoleran,” ungkapnya.

 

Sebagai contoh, lanjut Sobih, hal ini bisa diamati pada unggahan-unggahan yang bersinggungan dengan sensitif keagamaan, para pengguna masih kerap terjebak dalam provokasi hingga mengabaikan unsur asal bangsa Indonesia, yakni keberagaman.

 

“Untuk itulah gerakan toleransi pun harus memanfaatkan media yang sama. Media sosial adalah tempat strategis untuk menebarkan pesan-pesan damai dan keberagaman,” pungkas Sobih.

 

Menurut penjelasan panitia, keluaran dari pelatihan ini adalah para peserta diharapkan mampu menjadi penggerak dalam menebarkan pesan damai dan toleransi baik dalam dunia nyata maupun dalam hal tata kelola informasi. Dan diharapkan juga, sasaran gerakan ini adalah para remaja yang masih memiliki semangat dalam membangun identitas kebangsaan. [Ismail]

 
Tags : ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar