Kamis, 30 Oktober 2014

Undang-Undang Desa, Mengalir Sampai di Mana?

| No comment

Oleh: Diaz Alauddin*


            Desa adalah tempat lahir dan berkembang. Walaupun di saat remaja pergi merantau, tak jarang rasa rindu ada, pada desa sebagai kampung halaman, sebagai tempat untuk pulang.


            Seiring berputarnya waktu dari kecil hingga dewasa, tentunya pasti ada perubahan yang dialami desa, terutama dari segi fisik, apalagi terkait program pembangunan yang tengah pemerintah jalankan. Selama ini dengan diberlakukannya UU (Undang–Undang) No. 32 Tahun 2004, serta perubahannya yang dimuat dalam UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, desa hanyalah dianggap sebagai sasaran target pembangunan atas posisi yang ada di atasnya (baik kabupaten/kota, propinsi ataupun pusat yang menangani langsung). Tidak jarang program tersebut seperti pemaksaan kehendak antara atasan pada bawahan, hingga terdapat program yang sebetulnya tidak cocok untuk dijalankan di suatu wilayah desa tertentu. Hal ini biasa terjadi dikarenakan kurangnya data riil tiap desa.


 

Pesan Bebas Menentukan Masa Depan


            Dengan adanya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dan tata cara pelaksanaannya yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014, patutlah berbahagia. Karena kini dengan memiliki hak asal usul, desa sudah memiliki legalitas hukum dan berhak menentukan posisinya sendiri dalam pembangunan. Namun, sebelum itu, dalam Bab II tentang Kedudukan dan Jenis Desa (pasal 6), serta Bab III tentang Penataan Desa (pasal 9, 10, 11 dan 12), semua itu dihadapkan pada 4 pilihan. Pertama, menjadi desa atau lebih mudahnya disebut ‘Desa Administratif’ (pemerintahan desa yang dibentuk sesuai peraturan administratif). Kedua, menjadi Desa Adat. Ketiga, tidak menjadi desa dan melainkan kelurahan. Serta terakhir, keempat, kelurahan yang berubah menjadi desa. Semua keputusan itu harus diambil melalui musyawarah desa, paling lambat satu tahun setelah UU No. 6 tahun 2014 ini diundangkan, dengan kata lain pada tanggal 15 Januari 2015. Dilanjutkan dengan Pemda Kabupaten/Kota yang melakukan inventarisasi aset desa hingga Januari 2016.


            Untuk menentukan itu, terlebih dahulu dilakukan sebuah pembacaan tentang apa itu arti dari desa? desa atau Desa Administratif, adalah suatu wilayah yang luasan administrasinya sudah ditentukan oleh pemerintah yang dipimpin oleh seorang kepala desa beserta perangkatnya, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai penyalur aspirasi masyarakat, dengan keputusan tertinggi berada di Musyawarah Desa atau yang biasa dikenal Musrembang Des (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Dua desa pun dapat digabungkan menjadi satu desa, ataupun sebaliknya satu desa dimekarkan menjadi dua desa.


            Sedangkan dalam Bab XIII tentang Ketentuan Khusus Desa Adat, Desa Adat ialah suatu wilayah yang luas batasannya ditentukan berdasarkan keputusan adat yang ‘sudah ada sejak dahulu’, yang dibuktikan dengan tempat, tata perilaku sosial serta upacara adat sebagai hak tradisional yang masih dijalankan dengan dipimpin oleh ketua adat. Sepanjang semua keputusan adat tidak melanggar undang-undang yang berlaku dalam kabupaten/kota, atau yang diatasnya (propinsi dan negara).


            Namun dalam penentuannya, desa adat juga berpotensi menimbulkan konflik dengan desa tetangganya terkait luas wilayah binaan. Mengapa? Karena batas wilayah adat tentunya berbeda luas dengan wilayah Desa Administratif. Tak jarang wilayah adat mencakup lebih dari satu Desa Administratif, atau ada sebagian wilayah dari Desa Adat yang masuk kedalam Desa Administratif. Sebagai contoh, jika ingin menjadi Desa Adat ‘A’, maka luasan wilayahnya mencakup Desa Administratif ‘B’ dan ‘C’, serta setengah dari ‘D’. Apabila Desa “B’, ‘C’, dan ‘D’ sepakat untuk menjadi Desa Adat ‘A’ maka tidak masalah. Tetapi bagaimana kalau ‘D’ sebagai Desa Administratif tidak mau melepas setengah dari wilayahnya? Itu yang patut kita pikirkan bersama melalui musyawarah antar desa.


            Lain halnya dengan tidak menjadi Desa Administratif dan Desa Adat, dengan kata lain menjadi Kelurahan. Konsekuensinya maka segala aset milik desa berganti menjadi sah milik kabupaten/kota. Pun segala pembangunannya maka akan langsung masuk pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.


 

Desa Membangun, Membangun Desa


            Setelah memilih antara Desa Administratif atau Desa Adat, pendekatan yang harus digunakan dalam perencanaan pembangunan adalah “Desa membangun‟ dan “membangun Desa”. Desa membangun, berarti kepala desa/adat beserta perangkatnya berperan aktif untuk membina masyarakat desa. Sedangkan membangun Desa memiliki makna yaitu masyarakat desa bersikap aktif serta kritis terhadap desanya. Kedua pendekatan tersebut harus tertanam, terintegrasi dan secara bersama (sinkron) dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa.


            Terkait dalam pembuatan rencana pembangunan kawasan pedesaan sebagai ‘Desa Membangun’, pemerintahan desa perlu untuk melihat Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dari kabupaten/kota serta propinsi sebelum membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Des), yang merupakan penjabaran dari RPJM Des untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Hal ini dimaksudkan agar dapat menyerap APB yang digelontorkan pemerintah pusat secara maksimal, efektif dan efisien yang didasarkan atas kondisi sumber daya desa.


            Tertulis dalam PP No. 43 tahun 2014 penyusunan RKP Des dan RPJM Des harus melalui musyawarah desa yang dimulai sejah bulan Juni. Pada bulan selanjutnya, Juli, draft RKP Des sudah mulai dirancang. Hingga akhir September, RKP Des ini dikatakan sah apabila sudah ditetapkan dengan Peraturan Desa (Per Des) sebagai dasar penetapan APB Desa. Selanjutnya di bulan Oktober; Kepala Desa beserta BPD menyepakati Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa. Paling lambat 3 hari setelah kesepakatan, disampaikan ke Bupati, untuk kemudian dilaksanakan evaluasi, apabila tidak disetujui. Setelah ada kesepakatan, bulan Desember akhir APB Des sudah dapat ditetapkan.


            Kepala Desa kemudian dapat menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota setiap semester tahun berjalan. Laporan sebagaimana dimaksud untuk semester pertama disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun berjalan. Serta untuk semester kedua disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.


            Selain dengan penganggaran yang digelontorkan, dalam pendanaan, desa juga berhak memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUM Des) agar dapat mengelola potensi yang ada di desa. BUM Des secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga berfungsi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dijelaskan dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1, pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan prioritas kebutuhan.


            Lantas bagaimana dengan peran masyarakat desa itu sendiri dalam ‘Membangun Desa’? sebagai warga desa, tentu masing-masing individu mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi, memperoleh pelayanan yang adil, menyampaikan pendapat baik lisan atau tertulis yang dapat di pertanggungjawabkan, meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa, serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan kemasyarakatan. Hal ini sudah diatur dalam Bab VI yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban, Desa dan Masyarakat Desa.


            Setelah mengetahui kesemua hal diatas, dan melihat waktu yang kini memasuki bulan November tahun 2014, sudahkah pemerintah pusat menjalankan sosialisasi UU Desa dengan jelas dan tepat ke setiap daerah yang ada di seluruh Indonesia?. []


 


*Penulis adalah penggiat diskusi di ISIF Cirebon. Sedang meneliti dan belajar tentang strategi penanggulangan bencana di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tags : ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar