Senin, 27 Oktober 2014

Ihwal Frekuensi Publik dan Kedaulatan Khalayak

| No comment
[starlist][/starlist]

Oleh: Sobih Adnan*


Bukan kali ini saja sebabak konten siar di stasiun televisi harus merangkak naik ke meja perdebatan publik. Bukan pula semata soal prosesi pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang ditayangkan berjam-jam dan berulang pada waktu-waktu yang strategis. Sebelumnya, konten serupa juga menjadi hangat dibicarakan kala sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan secara langsung dan hampir tanpa putus seluruh rangkaian prosesi pernikahan pasangan selebritis Anang Hermansyah dan Ashanti, atau saat sepasang calon presiden dan wakil presiden “mangkal” di segmen kuis dan sinetron paling masyhur langganan ibu-ibu rumah tangga. Sayangnya, perdebatan yang bersumber atas dasar pertimbangan menjaga kedaulatan publik ini tidak melulu mendapatkan dukungan dan anggapan yang baik dari masyarakat. Entah dengan apa sebabnya, hampir sebagian besar masyarakat sebagai obyek komunikasi siaran televisi masih mewajarkan prilaku-prilaku perampokan yang dikemas secara spektakuler tersebut.


Ibarat Perahu dan Laut


Yang paling muradif dan gampang untuk mengibaratkan persoalan pelik tak pelik ini adalah dengan mengumpamakan dua benda yang akrab dan wujud di tengah masyarakat kita, yakni perahu dan laut. Sebagian orang beranggapan bahwa eksploitasi konten acara sebuah lembaga penyiaran yang menjurus pada pribadi dan eksklusif merupakan sebuah kewajaran bagi si empunya modal. Alih-alih seseorang sudah menggelontorkan milyaran rupiah untuk membangun sebuah stasiun televisi misalnya, maka seseorang tersebut boleh secara bebas menyiarkan dan menyajikan bentuk apapun ke tengah-pandang masyarakat. Toh, bukannya masyarakat sebagai sasaran pasar juga masih memiliki kekuasaan penuh melalui remote dan tombol-tombol saluran yang bebas pilih?. Maka, terkait paut hal inilah pengibaratan perahu dan laut laik dimunculkan.


            Stasiun televisi adalah perahu. Frekuensi adalah laut. Konkretnya, seorang nelayan yang memiliki kekuatan modal dua puluh juta untuk membeli sebuah perahu bukan berarti ia secara otomatis telah membeli lautnya. Kepemilikan laut tetap di tangan publik. Dalam arti, laut tidak bisa dipindah-milikkan dari hak pemanfaatan untuk umum ke dalam hak mutlak pribadi. Inilah tafsir yang terkesan serampangan namun sedikit mudah untuk mendedah Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang dalam mukadimahnya menyebutkan, pemanfaatan frekuensi radio sebagai ranah publik yang merupakan sumber daya alam terbatas dapat senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya.


            Keberadaan KPI sebagai lembaga yang diamanati oleh Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pun terkesan kerap bertindak kesiangan. Laporan dan pengaduan dari masyarakat secara langsung untuk mendorong terlaksananya undang-undang ini memang penting, namun penjabaran mengenai kedaulatan khalayak di tengah gejala kapitalisasi media informasi ini dirasa lebih bersifat mendesak.


Kisah Kedaulatan Informasi di Kanada


Tepat bulan September 2013 lalu, Jonathan Yendal, Konselor Kedutaan Besar Kanada di Indonesia menyatakan kekagumannya terhadap fenomena hak dan kedaulatan informasi publik masyarakat kita. Kekaguman yang hadir tidak sekadar dengan makna aslinya, melainkan sekaligus kritik penting yang merupakan hasil perbandingan dengan sikap pemanfaatan hak khalayak informasi di Kanada. Menurutnya, masyarakat Kanada akan memprotes keras pemasangan pesawat televisi dengan saluran tertentu yang sudah dinyalakan di tempat-tempat umum. Hal ini terkait dengan hak bagi publik untuk memilih saluran yang ia kehendaki, maka tak wajar pula jika sebuah fasilitas umum yang tidak memiliki kait-paut dengan kebutuhan informasi -sekelas warung makan misalnya-, menyajikan siaran tanpa kesepakatan publik.


Pengkiasan tersebut ternyata tidak hanya berhenti di warung makan. Pengibaratan sampai masuk ke ruang paling pribadi. Semisal, seseorang jemaah yang beranjak dari rumah untuk menunaikan ibadah Salat Jumat tiba-tiba saja harus ia dapati rentetan orasi kampanye politik dari sang khatib. Dalam hal ini, segenap fasilitas umum yang memiliki kepentingan penyajian informasi, tidak bisa tidak harus berjalan beriring dengan hak dan kedaulatan publik.


Kritik dengan lagak kekaguman ini memang boleh saja dianggap sebagai angin lewat, namun secara mendalam akan muncul di benak kita, betapa kedaulatan hak informasi publik masyarakat Indonesia masih saja abu-abu, meski berbalut undang-undang dan beragam semboyan keterbukaan.


*Direktur Pusat Data, Riset dan Publikasi


Dimuat di Harian RADAR Cirebon, Edisi Selasa, 21 Oktober 2014

Tags : ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar